Ini beberapa kisah masa kecil saya. Mungkin tidak berarti untuk beberapa orang. Namun ini dalam rangka mengingat gambaran seperti siapa diri saya sendiri agar saya tetap bersyukur dan bersemangat menjalani kesulitan yang saya hadapi ke depan nanti.
Saya anak tertua. Jarak usia saya dengan kedua adik-adik saya cukup terkait jauh. Dengan adik perempuan saya terkait usia 6 tahun dan dengan adik laki-laki saya tetpaut hampir 9 tahun. Masa kecil kami tidak dilimpahi banyak mainan dan buku cerita. Ya, kedua orang tua kami tak mampu.
Jangan harap ada cerita dongen lg sebelum tidur karena ibu kami buta huruf. Tapi ibu dan ayah kami orang yang cerdas dan berwawasan luas hanya belum mendapatkan kesempatan yang baik untuk mengenyam pendidikan seperti orang pada masanya.
Saya berbagi kisah cerita dongeng dan kisah yang tengah populer saat itu kepada adik-adik saya. Saya menceritakan kembali cerita yang saya baca kepada kedua adik saya. Dan setiap mati lampu, cerita pun yang diceritakan menjadi lebih menarik dengan suara-suara tokoh yang saya tiru disertai gerakan tangan saya yg berusaha membentuk suatu mimik katakter yang saya ceritakan dilatari oleh temaram cahaya lilin. Masa ini masa yang paling indah menurut saya sebagai seorang saudara tertua. Saya berterima kasih Tuhan telah memberi saya saudara kandung. Karena bagi saya mereka adalah salah satu sahabat terbaik saya.
Hubungan saya sedang tidak baik terhadap saudara saya. Saya pun kurang bijak bila bercerita tentang kesulitan saya saat ini. Namun, perasaan sebagai seorang anak pertama yang mendapat saudara sungguh membahagiakan. Karena saya tidak perlu bermain sendirian lagi di rumah. Terima kasih telah menjadi tempat pertama untuk mengkhayal, berharap, dan bercita-cita setinggi-tingginya.
Ingat sewaktu ayuk (panggilan untuk saudara perempuan yang lebih tua dalam bahasa Palembang, red) dinyatakan lulus untuk masuk ke Fakultas Kedokteran namun saya terlihat nampak tidak begitu bahagia? Waktu itu kalian yang paling mengerti bahwa ketakutan ayuk adalah takut pendidikan itu terhenti di tengah jalan. Lalu kalian berdua yang masih sangat kecil dengan kompaknya mencoba menenangkan ayuk dengan berkata, “Ayuk Uli silahkan sekolah setinggi-tinkgginya. Jadilah dokter. Biar kami nanti kami bantu cari biayanya”. Seketika itulah ayuk Uli semangat buat sekolah. Karena ayuk sadar. Itu bukan tugas kalian. Namun tugas ayuk untuk menjaga kalian. Mohon maaf atas kekurangan ayuk dalam usaha agar kita bisa sekolah setinggi-tingginya. Maaf belum terlalu mumpuni. Namun, selama kalian masih bersemangat untuk sekolah lagi maka ayuk akan selalu bersemangat mencari jalan keluarnya. Jadi, belajarlah yang rajin dan tekun. Agar nantinya kalian pun bisa berdiri di kaki kalian sendiri meski orang tua kita dianggap orang lain bukanlah siapa-siapa. Namun ingatlah, orang tua kita itu adalah hadiah dari Tuhan untuk kita. Maka tugas kita adalah membuat mereka bahagia dan bangga. Untuk mengganti segala kesulitan, hinaan, dan usaha mereka.
Ingatlah mimpi-mimpi kita yang sering kita khayalkan saat kita berbagi cerita di tengah kegelapan malam saat mati lampu. Meski gelap. Meski cahaya harapan selemah seperti cahaya lilin saat itu. Ingatlah cerita kita dan canda-tawa kita bertiga yang memimpikan kehidupan dan cita-cita setinggi mungkin.
Ayuk sayang kalian. Ayuk ingin kalian berusaha sebaik mungkin. Meski sekarang kita terpisah jauh namun setiap saat ayuk selalu menyetakan kalian dalam setiap usaha dan doa ayuk. Jadi kalian pun harus bersemangat. Dan bersikap baik terhadap kedua orang tua kita. Jangan lupa selalu memanjatkan doa kepada Allah. Karena hanya Allah lah yang bisa menolong kita di kehidupan yang keras ini.
Semoga usaha, cita-cita, dan harapan kita tercapai. Dan jangan pernah malu dan melupakan siapa diri kita sebelumnya jika nanti berhasil. Agar kita senantiasa selalu bersyukur dan bersemangat menjalani kehidupan ini.
Aamiin yra.